Jumat, 19 Maret 2010

didA, Franchise Properti Bakal Diminati

Didik Darmawan, didA

Didik Darmawan, didAKetatnya persaingan di sektor properti membuat Didik Darmawan merasa perlu menciptakan strategi baru untuk pengembangan bisnisnya. Ia menawarkan franchise yang terbilang unik sekaligus menarik. Slamet Supriyadi

Dalam beberapa tahun ini kebutuhan akan perumahan dari berbagai tipe terus meningkat. Berdasarkan data REI (Real Estate Indonesia) kebutuhan akan tempat tinggal di Indonesia mencapai 1,2 juta unit per tahun. Namun pemerintah yang semestinya berkewajiban menyediakan sarana perumahan bagi masyarakat terlihat kedodoran. Tengok saja, program pembangunan sejuta rumah yang gencar didengungkan ternyata jauh dari realisasinya.

Tingginya angka permintaan tersebut menjadi penanda bahwa peluang bisnis di sektor ini masih menarik karena supply lebih kecil ketimbang demand. Penyebabnya, sejumlah pengembang besar enggan menggarap perumahan untuk tipe kecil maupun menengah. Mereka lebih suka berkonsentrasi membangun perumahan bertipe besar karena keuntungannya jauh lebih menggiurkan.

“Memang, berdasarkan survei yang kami lakukan, kebutuhan akan perumahan di Indonesia sangat besar khususnya tipe kecil dan menengah,” ujar Didik Darmawan, Chief Executive Officer/Founder PT Permata Banten Raya atau yang lebih dikenal dengan nama didA. Hal ini terjadi karena selain meningkatnya jumlah populasi penduduk, juga membaiknya daya beli masyarakat. Menurut Didik, tingginya permintaan akan rumah juga dipengaruhi oleh siklus perpolitikan. Biasanya setelah ada hajatan politik nasional seperti pemilihan presiden (pilpres) grafiknya akan naik. Karena pelaku bisnis juga ingin mendapatkan jaminan stabilitas politik dan kepastian hukum.

Harus diakui, bisnis properti selama ini merupakan salah satu primadona. Jumlah uang yang berputar di sektor ini sangat melimpah. Sehingga secara alamiah, pengusaha yang berniat terjun ke bisnis properti tersebut jumlahnya terus meningkat. Alhasil, tingkat persaingan diantara mereka pun berlangsung ketat.

Kondisi ini megharuskan pengembang mencari peluang dan strategi jitu jika ingin tetap bertahan. Sebab kalau tidak, usahanya bakal tergilas. Hal ini juga disadari oleh Didik yang mendirikan didA pada tahun 2002, yang selanjutnya mengenalkan konsep Business Opportunity (BO) dalam pengembangan bisnisnya. Mungkin sebagian dari Anda akan mengernyitkan dahi, bagaimana usaha di bidang properti akan di BO-kan?

Didik memberi gambaran, saat ini masih banyak lokasi di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang punya prospek cerah untuk dikembangkan, namun masih terhambat oleh penyediaan lahan. “Nah, dengan sistem BO seperti yang kami tawarkan, mereka yang memiliki lahan seluas 1,5 ha-6 Ha yang sudah bersertifikat, harga tanah sesuai dengan kelayakan usaha, jalan utama di sekitar dilalui minimal dua jurusan angkot dan lain sebagainya, bisa menjadi mitra untuk kerjasama,” kata pria yang lebih dari 15 tahun berkecimpung di dunia properti ini.

Selama ini banyak pemilik tanah di wilayah Bodetabek yang menjual begitu saja tanah yang mereka miliki dengan harga murah. Dengan adanya tawaran BO mereka bisa memperoleh beberapa keuntungan: yaitu tanahnya terjual dengan harga yang layak serta mendapt pembagian hasil setelah perumahan yang dibangunterjual. Prosesnya, pada tahap awal pihak pengembang akan membayar 5%-10% dari harga tanah yang sudah dinilai. Sisanya dibayar pada saat rumah terjual baik yang dilakukan lewat tunai maupun KPR sebesar 40%. Ssedangkan sisanya sebesar 60% dimasukkan ke dalam cahflow. Begitu seterusnya hingga pembayaran tanah lunas.

Setelah pembangunan selesai atau pada saat tutup buku dilakukan pembagian hasil dari net profit sebesar 40% untuk pemilik tanah dan 60% pengembang. “Jadi selain dari harga tanah tadi, pemilik tanah juga mendapatkan pembagian keuntungan dari pembangunan rumah tersbut,” tutur pria kelahiran 22 November 1966 ini. Untuk kegiatan pembangunan tersebut pengembang juga berkewajiban menyediakan biaya Pra-Operasional yang meliputi biaya ijin, legalitas, infrastruktur, rumah contoh, kantor pemasaran, gerbang, pemasaran dan promosi awal serta operasional kantor 5 bulan pertama.

Kendati baru diluncurkan pada tahun ini, tercatat sudah ada empat pihak yang ingin melakukan kerjasama. Dan baru satu yang sudah direalisasikan. Konsep BO ini sebenarnya merupakan embrio dari sebuah sistem franchise yang akan didA tawarkan. Dimana pada 15 Januari 2010, pihaknya berharap sudah bisa melaunching sistem franchise tersebut.

Konsep franchise dalam bisnis properti seperti yang ditawarkan Didik, bisa dibilang masih tergolong baru. Selama ini kita lebih banyak mengenal franchise pada sektor makanan dan minuman, otomotif, ritel jasa pelatihan, kesehatan dan sebagainya. ”Yang jelas kita ingin menjadi pioneer dan menawarkan peluang bisnis yang menjanjikan,” tambah Didik.

Dibandingkan dengan BO, konsep franchise ini sebenarnya lebih simple dan jelas. Calon franchisee akan dikenakan franchise fee yang besarnya ditentukan tipe paket yang akan dipilih. Misalnya, Tipe C (perumahan sederhana) sebesar Rp200 juta, Tipe B (perumahan menengah sederhana) Rp350 juta dan Tipe A (perumahan menengah atas) Rp500 juta. Selain biaya tadi, franchisee juga harus menyiapkan dana pra operasional yang besarnya antara lain Tipe C Rp750 juta, Tipe B Rp1,75 miliar dan Tipe A Rp2,25 miliar.

Untuk mendukung berjalannya konsep franchise tersebut, didA telah menyiapkan sejumlah standard operating procedure (SOP) yang dipadukan dengan penggunaan Infotmation Technology (IT). Perusahaan juga akan melakukan pelatihan-pelatihan, khsususnya untuk divisi marketing maupun finance guna meningkatkan kemampuan yang sudah dimiliki.

Berbeda dengan BO, pada sistem ini franchiseelah yang akan mengerjakan semua tahap pra operasionalnya. Franchisor, lanjut Didik, hanya menyediakan kantor marketing dan kantor manajemen serta support pelatihan selama 1 tahun. “Urusan perijinan dan legalitas masih menjadi tanggung jawab kita, karena kita lebih paham untuk soal itu,” urai Didik

Lalu bagaimana dengan pengaturan persebaran calon franchisee? Menurut Didik, calon franchisee akan ditentukan berdasarkan wilayah administrasi atau kota. Misalnya, untuk wilayah Depok, mereka berhak mencari lahan di wilayah tersebut yang sesuai dengan standard yang telah ditetapkan. Tiap wilayah maksimal ada 3 franchisee untuk tipe yang berbeda. Dari hitungan Didik untuk Bodetabek saja terdapat 8 wilayah yang bisa digarap, yaitu Bogor (1 kabupaten dan 1 kota), Depok (1 kota), Tangerang (1 kabupaten dan 2 kota) serta Bekasi (1 kabupaten dan 1 kota).

Didik menyadari jika konsep ini berhasil akan banyak perusahaan besar yang terjun mengikuti langkahnya. “Sebenarnya tidak perlu takut karena kita lebih dulu menadi pioneer. Dan untuk mengantisipasinya kita akan memperkuat brand dan pasar khususnya untuk perumahan tipe B dan tpe C,” ujarnya.

Jadi, meski kelak banyak perusahaan besar yang ikut terlibat pihaknya masih tetap optimis. Didik mengaku perumahan yang dibangunnya memiliki keunikan karena luas lahan yang digarap dibatasi 1,5 Ha-6 Ha. “Keuntungannya kita bisa memilih tempat yang marketable dan terhindar dari kejenuhan. Selain itu kita tidak perlu menyiapkan fasilitas umum (seperti sekolah, pasar, mal dll) karena ikut dengan fasilitas yang sudah tersedia disekitarnya,” katanya lagi.

Buat franchisee konsep ini jelas akan menguntungkan. Bagaimana tidak, karena begitu selesai selesai pembangunan satu proyek, franchisee bisa mencari lahan lain untuk pembangunan selanjutnya tanpa dikenakan lagi franchisee fee. Maka dengan masa kontrak selama 7 tahun dan royalty fee 5%-7%, Didik memprediksi revenue total yang diperoleh bisa mencapai Rp110 miliar. Dengan begitu keuntungan yang akan diperoleh akan terus menggunung.

© 2010 Majalah Pengusaha - Referensi Usaha Anda

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008