Jumat, 19 Maret 2010

Cireng Kraton, Mengangkat Gengsi Makanan Tradisional

Cireng KeratonNurhayati, Cireng KeratonNurhayati, Cireng Keraton

Nurhayati, Cireng KeratonJika selama ini cireng lebih dikenal sebagai makanan 'kampung' yang terkesan murahan, namun ditangan Nurhayati panganan ini disulap menjadi lebih modern. Modifikasi tidak hanya dari sisi rasa, tapi juga pada pengembangan usaha yakni dengan menerapkan sistem waralaba. Renny Arfianti

Tanah pasundan sepertinya tak akan pernah habis menelorkan ide-ide kreatifnya, mulai dari fashion, seni, sampai aneka makanannya yang sangat variatif. Tak terkecuali untuk urusan memodifikasi menu makanan. Salah satunya, cireng. Makanan tradisional ini, kini disulap menjadi makanan modern yang tak lagi dijajakan di pinggir jalan melainkan sudah masuk mal. Cireng adalah penganan berbahan dasar tepung sagu atau aci yang kemudian diuleni menjadi adonan yang mudah dibentuk lantas diisi dengan oncom atau kacang, kemudian digoreng dan disantap selagi masih hangat. Teksturnya yang alot, mengharuskan cireng lebih nikmat disantap dalam kondisi hangat.

Dalam perkembangannya, isi oncom atau kacang yang sebelumnya sering dijumpai, telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan isian lain seperti ayam, daging, sosis, baso bahkan makanan internasional macamnya teriyaki, pizza dan barbeque. Ide memodifikasi kudapan ini muncul dari seorang guru yang hobi memasak bernama Nurhayati yang rela berhenti bekerja sebagai guru demi keinginannya membuka usaha ini. Nur, demikian ia disapa menamai penganan modifikasinya dengan Cireng Keraton. Alasannya, menurut, ibu dua anak ini, penamaan Cireng Keraton lebih mudah diucapkan sekaligus diingat. Terlebih lagi, keraton yang identik dengan kalangan atas dianggap mampu mengangkat image cireng yang terlanjur lekat dengan jajanan rakyat kecil. "Keraton ‘kan kesannya high class, jadi bisa membuat cireng naik kelas lah", ujar wanita kelahiran Bandung, 4 Juni 1971 ini.

Berawal dari hobi memasak yang sudah ia lakoni sedari kecil, telah membawanya menemukan cireng modifikasi ini. Bermodal pengalaman berjualan kue semasa kecil Nur mencoba menjajakan cireng buatannya. Tak disangka, responnya sangat positif. Outlet yang ia bangun di Kota Bandung akhir 2006 membuahkan hasil yang menggembirakan. Modal awal yang ia gelontorkan sebesar Rp16 juta, jumlahnya kini telah meningkat hingga berkali lipat. Tentu semua itu tidak diperolehnya secara mudah.

Cireng Keraton memang terbilang unggul dibanding produk sejenis lainnya. "Cireng saya kualitasnya bagus, dari dari segi rasa, ukuran dan penampilan secara keseluruhan. Kalau cireng lain ‘kan isinya biasa saja, ukuran lebih kecil dan minyaknya itu bisa sampai tembus ke dalam. Jadi orang seperti makan minyak bukan makan cireng. Kalau cireng buatan saya tidak melempem walaupun memang sifat dasar cireng itu alot", tutur ibu dua anak ini.

Untuk pengembangan usahanya, Nur menerapkan konsep waralaba. Ia menjual brand Cireng Keraton seharga Rp 12 juta per dua tahun masa kerja sama, dengan model outlet. Jika menginginkan model gerobak harganya tentu lebih murah, Nur mematoknya seharga Rp 10 juta dan sudah termasuk royalty fee. Untuk perpanjang kerjasama franchisee hanya diwajibkan membayar Rp 4 juta saja. Franchisee akan dikirimkan produk setiap harinya sehingga franchisee tinggal menjualnya saja.

Karena produk dalam keadaan mentah dan hanya bisa bertahan dalam tempo dua hari maka setiap franchisee tidak bisa memesan produk terlalu banyak. Caranya, franchisee wajib mengabarkan kepadanya berapa jumlah produk yang akan dikirim. Keesokan harinya franchisee sudah menerima produk sesuai pesanan dan siap dijual. Karena itu banyaknya jumlah produk yang terjual tergantung dari lokasi dan tingkat keramaian pembeli setiap outletnya. "Outlet teramai bisa memesan sampai 700 pieces sementara untuk minimal ordernya 250 pieces", lanjut wanita lulusan Universitas Pendidikan Indonesia tersebut.

Nurhayati, Cireng KeratonLantas berapa keuntungan yang didapat diperoleh? Kalikan saja dengan harga cireng perbuahnya. Misalnya, jika satu outlet bisa menjual hingga 700 buah dengan harga Rp 3500 (harga untuk luar Bandung, red) maka franchisee sudah mengantongi lebih dari Rp 2 juta sehari. Walaupun Nur mengatakan keuntungannya sedikit, tapi hitung-hitungan pasti tidak bisa menipu. Usaha yang dilakoninya ini terbilang sukses. Sebagai gambaran, jika ia mampu memasok lima ribu pieces sehari ke segala penjuru outletnya yang tersebar di Jawa Barat dan Jabodetabek, maka dalam sehari Nur dapat mengumpulkan uang kurang lebih Rp17 juta. Angka yang cukup fantastis jika mengingat produk yang dijual adalah cireng, jajanan kampung yang biasa dijual paling tinggi seribu rupiah. kKaren ia itu ia berani menjamin dalam waktu tak lebih dari tiga bulan, franchisee sudah bisa balik modal.

Kenyataan itulah yang mendorong banyak pihak ingin bermitra dengan Nur. Dalam sehari permintaan untuk kerjasama minimal 10 orang bahkan bisa lebih. Karena merasa kewalahan, Nur menolak permintaan tersebut dengan alasan lokasi yang diminta terlalu jauh. Ia hanya mampu menangani usaha yang berlokasi di wilayah Jawa Barat, Jabodetabek atau paling jauh sampai Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ini dikarenakan Nur belum memiliki jaringan transportasi yang memadai untuk pengiriman produk jarak jauh mengingat produk juga hanya bertahan dua hari saja.

Tak heran jika calon mitra yang berasal dari Samarinda, Jambi dan Balikpapan belum bisa dipenuhinya. Kendala yang dihadapi sekali lagi persoalan distribusi. "Karena harus dipikirkan bagaimana distribusi yang baik tanpa merusak produk yang memang hanya mampu bertahan dua hari saja. Sampai Jawa Tengah masih mungkin karena masih ada sistem transportasi yang memungkinkan pengiriman produk dalam waktu singkat", imbuh wanita yang berangan-angan ingin menjadi penulis.

Meski banyak tawaran untuk bermitra, Nur juga tak sembarangan memilih siapa yang akan menjadi rekanan bisnisnya." Saya sendiri yang mengali kepribadian calon mitra guna mencegah hal-hal yang tak diinginkan yang dapat merusak jaringan bisnis ini. Karena bisnis seperti ini dibutuhkan kepercayaan yang kuat, mencari gambaran psikologis dari calon franchisee. Untunglah sampai saat ini feeling cari mitra masih bagus-bagus saja", kata wanita yang sudah memiliki 23 outlet Cireng Keraton itu.

Dengan produk yang berkualitas dimana isian cireng memang daging asli bukan 'daging-dagingan' maka Nur agak kesulitan menetapkan harga yang bisa ‘win-win soluitons’. Saat ini cireng modifikasi buatan Nur ada 10 pilihan rasa sosis pedas, ayam pedas, oncom pedas, sapi pedas, baso pedas, pizza, ayam teriyaki, keju, barbeque dan kedap (keju, daging asap). Tergoda untuk mencobanya?

Cireng KeratonKeunggulan Franchise cireng Keraton :
1. Produk tergolong mewah dengan ukuran lebih besar dari cireng kebanyakan dan isian yang sangat
variatif. Tidak menyerap minyak sehingga yang dimakan konsumen adalah cireng sesungguhnya
dalam arti bukan makan minyak.

2. Harga sangat terjangkau. Sulit menemukan produk yang high quality dengan harga murah.

3. Persyaratan menjadi mitra tergolong mudah. Cukup membayar Rp 12 juta untuk model outlet dan
10 juta untuk model gerobak. Karyawan akan dilatih oleh owner sementara franchisee hanya
cukup mencari SDM-nya saja.

4. Peluangnya sangat besar mengingat produk cireng dengan isian yang komplit masih jarang
kompetitor.

5. Keuntungan yang diperoleh cukup memuaskan dalam waktu kurang dari tiga bulan sudah balik
modal. Franchisee boleh menentukan harga produk sendiri, owner hanya menetapkan Rp 2000.


© 2010 Majalah Pengusaha - Referensi Usaha Anda

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008