Sejak awal tahun saya memang sudah mencanangkan kebijakan uang ketat. Harus hemat pengeluaran. Maklum, lagi krisis, jadi harus hati-hati untuk keluar uang. Kalau pun harus keluar, harus dihitung betul efektivitas penggunaannya.
Saya memberikan 3 pilihan kepada tim saya:
1. Mengganti AC dengan yang baru dengan anggaran sekian. Ternyata tidak mencukupi.
2. Memperbaiki AC yang rusak. Ternyata kondisi AC tersebut sudah sekarat dan sulit diperbaiki.
3. Menawarkan ruangan saya untuk dipakai. Pasalnya, saya jarang ke kantor dan lebih banyak melakukan pekerjaan dari rumah. Pekerjaan saya sebenarnya sederhana tapi bernilai mahal, yaitu: berpikir. Hehe...
Akhirnya mereka memutuskan untuk memilih yang ketiga. Ya sudah, saya pun harus mengalah dan tersingkir. Sekarang saya tidak punya ruangan pribadi. Sekarang saya sering "menumpang" untuk sekedar membuka laptop atau menggunakan telepon kantor.
Beruntung, sejak awal tahun ini ruangan lantai dasar sudah direnovasi. Sebagian untuk ruangan display produk dan menerima pembeli. Sisanya ada 2 ruangan meeting yang cukup nyaman untuk bertemu dengan mitra atau tamu lainnya. Nah, di ruangan multi fungsi inilah saya sering duduk-duduk menerima tamu, membaca dan sebagainya.
Ternyata, keputusan saya yang cukup "heroik" dan out of the box ini dibela oleh Keith R. McFarland, penulis buku The Breakthrough Company yang sedang saya baca.
Ia mengatakan, bahwa perusahaan hebat yang ia teliti melakukan hal ini, yaitu "memahkotai perusahaan". Apa maksudnya? Perusahaan-perusahaan yang hebat dan melakukan breakthrough, dalam risetnya, berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan organisasi yang dibangun di atas dasar keyakinan bahwa kebaikan organisasi, harus menjadi penggerak perusahaan.
Pertanyaannya, apakan suatu organisasi dibangun untuk memenuhi kebutuhan pemimpinnya atau keluarga pendirinya, ataukah ia dipergunakan untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih besar daripada siapa pun yang menjadi anggotanya?
Apakah perusahaan saya membangun sesuatu yang jauh lebih besar daripada pemiliknya? Itu pertanyaan berat yang harus saya jawab dengan bukti nyata. It's easier said than done.
Pemilik perusahaan yang menyadari hal ini harus meletakkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan mereka sendiri, mengarahkan kekuatan dari semua tingkatan untuk membangun masa depan perusahaan.
Ada sangat banyak pemimpin, yang telah mencapai keberhasilan hingga tataran tertentu, yang cenderung menjadikan organisasi mereka menjadi hamba bagi kepentingan mereka sendiri.
Hmm... saya jadi teringat para eksekutif perusahaan besar yang tengah kolaps meregang nyawa di Amerika sana. Mereka lalu lalang dengan pesawat jet pribadi, bahkan ketika hendak "mengemis" dana talangan dari pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan mereka. Sbuah perusahaan yang telah di-bail-out oleh pemerintah, dananya digunakan untuk membayar bonus para eksekutifnya sampai puluhan juta dollar. Biarlah perusahaan bangkrut, yang penting gue tetap hidup enak, nyaman dan tenteram, mungkin itu pikiran yang ada di benak mereka.
Di bisnis UKM, saya sering menyaksikan para pemilik bisnis yang bergaya selangit. Belum apa-apa sudah beli mobil mewah dan rumah megah. Padahal, gironya sering mental. Yang penting gaya dulu, soal hutang itu persoalan nanti. Apalagi mereka "merasa" punya bargaining yang kuat terhadap mitra bisnisnya.
Teringat dengan Sam Walton, orang terkaya di dunia pemilik Wal Mart. Dia itu biar pun sudah kaya bukan kepalang, ke mana-mana masih tetap mengendarai mobil truk tuanya. Kalau naik pesawat, selalu kelas ekonomi. Tidur di hotel pun selalu yang kelas murah dan tempat tidurnya bisa di-sharing dengan rombongannya.
Tulisan ini sekaligus mengingatkan diri saya pribadi. Apakah saya tengah memahkotai diri saya sendiri atau perusahaan? Paling tidak, saya merasa cukup nyaman dengan keputusan yang telah saya ambil itu. Saya mengalah untuk "memahkotai" perusahaan saya.
Bagaimana dengan anda?Salam FUUUNtastic! SuksesMulia!
Wassalam,