Sabtu, 17 April 2010

Dini Surono, Memoles Tas Lokal Bernuansa Global

Dini Surono, CicieroGaya dan selera Dini Surono yang agak berbeda dalam urusan tas membuat dirinnya seolah menjadi trend setter. Dini kemudian memproduksi tas sendiri yang diberi label Ciciero, merek lokal yang mencoba menyamai kualitas internasional. Russanti LubisDini Surono, Ciciero

Berbicara tentang hobi berarti berbicara tentang kepuasan batin. Sehingga, jangan pernah berpikir tentang berapa besar atau banyaknya uang yang harus dikeluarkan untuk mewujudkan hobi. Tapi, tidak berarti hobi hanya menguras pundi-pundi keuangan. Jika jeli menangkap peluang, hobi pun dapat mempertebal kocek. Seperti yang terjadi pada Dini Surono.

Perempuan yang lebih suka dianggap sebagai desainer tas ini, laiknya kaum hawa juga menyukai tas. Tapi, ia memiliki taste dan style yang agak berbeda dengan kebanyakan perempuan penyuka tas. Sehingga, setiap kali ia menyandang tasnya, teman-teman sepergaulannya pun menyukainya. Walhasil, tas yang dipakainya pun berpindah kepemilikan. Sedangkan, isi tasnya berpindah ke tas kresek.

“Lama-lama aku berpikir, oh begini tho selera perempuan terhadap tas,” kata Dini, yang pernah mengoleksi hingga 50 tas tapi kini tinggal 10 buah itu. Lalu, ia mengamati kondisi pasar tas di Indonesia. Dan, ia menemukan fakta bahwa saat itu, di negaranya ini belum ada produsen tas yang bermain di pangsa pasar: kalau mau mahal ya mahal sekalian, kalau mau murah ya murah sekalian. “Sementara, dari segi seleraku juga nggak banyak. Sedangkan, aku sudah mengetahui selera segmen pasarku. Sehingga, aku bisa mendesain seperti apa yang mereka mau,” imbuhnya.Ciciero

Tahun 2000, ia mulai mendesain tas, lantas membawanya ke tukang tas langganannya, dan jadilah tas hasil karyanya itu. “Kemudian, dalam acara ketemuan dengan teman-teman, tas itu kupakai. Eh, ternyata mereka menyukainya. Sikap yang berbeda mereka tunjukkan kalau aku memakai produk luar. Mereka cuek saja. Akhirnya, aku berpikir ya sudah kuwujudkan dalam bentuk bisnis saja sekalian, tahun itu juga,” tutur Dini, yang membangun bisnisnya dengan modal awal tak lebih dari Rp10 juta. “Karena, aku sudah mengetahui siapa supplier-nya,” lanjutnya.

Namun, diakuinya, saat itu ia belum fokus dan serius dengan bisnis tas ini. “Masih sebatas hobi yang menghasilkan, belum menjadi profesi. Sistem pemasarannya pun hanya dari teman ke teman. Bahkan, sempat berhenti sejenak karena aku jenuh. Terlebih lagi, saat itu aku masih kuliah,” ucap sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia ini.

CicieroMedio 2008, ia memulai lagi bisnisnya. Kali ini, ia melakukannya dengan serius, baik dalam konsep maupun desainnya. “Hal ini, terjadi karena umurku sudah semakin bertambah. Aku merasa sudah saatnya aku menentukan, apakah bisnis ini akan kujalankan dengan main-main atau kujadikan pegangan hidup. Take it or leave it,” tegas kelahiran Jakarta, 21 Oktober 1978 ini.
Ciciero
Seperti kebanyakan pebisnis pemula, kala itu, Dini pun memiliki angan-angan yang serba indah dengan bisnis yang sedang dibangunnya. Dan, mimpi-mimpinya pun terealisasikan dengan indahnya. Apalagi, bisnis ini dibangunnya berdasarkan hobi. Sebab, baginya, hobi merupakan dasar utama dan 100% passionate-nya dalam membangun bisnis ini. Sedangkan modal dan infrastruktur lain, hanyalah pemanis dan pelengkap yang mengikuti passionate-nya. Sementara, passionate itu sendiri timbul karena adanya hobi. Sehingga, jika hobi itu tidak ada, maka bisnis tas itu pun tidak ada.

Namun, biasanya, seseorang tidak cuma mempunyai satu hobi. Sehingga, kemungkinan akan mempengaruhi laju bisnis yang dibangun berdasarkan hobi tersebut. “Itu tidak berlaku bagiku. Sebab, hobiku yang lain yaitu bersosialisasi, membaca, dan melakukan meditasi. Dengan kata lain, semua hobiku yang lain justru melengkapi bisnisku, bukan menarik atau mengalihkannya,” kata perempuan yang membawahi 15 karyawan ini.

Di sisi lain, ia menambahkan, dalam membangun bisnis kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah akan bersifat sementara atau long term. “Nah, kalau mau long term ya harus fokus. Seperti, yang aku lakukan dengan bisnisku sejak tahun 2000. Meski, aku pernah berhenti sejenak karena jenuh. Tapi, pada akhirnya akan kembali ke jati diri. Dalam arti, bila kita menyadari bahwa talent kita memang di situ, mau lari ke mana pun, pada akhirnya akan kembali ke situ lagi,” jelas Dini, yang berprinsip just try to make my life simple.

Pada dasarnya, ia melanjutkan, semua hobi dapat diwujudkan menjadi bisnis. Syaratnya, harus ada business plan yang jelas terlebih dulu. “Bila bisnis itu dibangun sekadar mengikuti hobi, 95% dipastikan akan gagal. Sebab, lebih bersifat mengikuti tren. Sehingga, bisa saja sebentar-sebentar tutup atau beralih. Sedangkan hobi yang didukung business plan yang bagus, nantinya justru akan mengalahkan pekerjaan tetap kita. Karena, lebih terarah, lebih tahu ke depannya mau ngapain. Bagaimana pun, hobi dan bisnis adalah dua hal yang berbeda,” tegasnya.

Berkaitan dengan itu, di awal bisnis ini dibangun, ia sudah membuat business plan yang jelas. Termasuk, memikirkan apa nantinya kemungkinan kendala-kendala yang akan dihadapi dan bagaimana mengatasinya. Sehingga, ketika berbagai kendala itu benar-benar terjadi tidak terlalu rough. “Mungkin bagi orang lain, yang kuhadapi ini dianggap kendala. Tapi, bagiku sih enggak,” ujarnya, tanpa bermaksud sombong.

CicieroSetiap bulan, melalui in house production-nya yang berlokasi di kawasan Prapanca, Jakarta Selatan, ia memproduksi 300 tas dengan sifat limited edition. Dalam arti, satu model satu warna (kadangkala, satu model 3–5 warna, red.). Sementara, dari segi jumlah, satu model maksimal 24 pieces. Sedangkan dari segi pemasarannya, tas-tas yang dihargai Rp170 ribu–Rp320 ribu per buah ini hanya dipasarkan melalui website (by online). “Aku merasa, cara pemasaran melalui website itu sudah cukup, nyaman, dan sangat mudah. Paling ideallah,” ucap Dini, yang produknya selalu sold out.

Hebatnya lagi, tas yang terbuat dari kulit sintetis buatan Hong Kong serta menyasar pada perempuan dewasa dari kalangan menengah dan menengah atas itu, sejauh ini belum memiliki pesaing. Karena, mereka yang bermain di segmen ini masih sangat jarang. “Brand dari luar merupakan pesaing tas saya. Sebab, secara desain, tas saya mengikuti merek-merek internasional tersebut. Di sisi lain, masyarakat kita adaptif terhadap merek-merek internasional. Jadi, Ciciero sebagai brand lokal mencoba menyamai kualitas brand internasional, dengan harga yang make sense bagi orang-orang kita,” jelas wanita yang menamai produknya Ciciero.

Kelebihan lainnya, Dini memberikan after sales service tanpa batasan waktu. Dalam arti, jika tas yang dibeli mengalami kerusakan parah, maka ia akan menggantinya dengan yang baru. Sedangkan, bila kerusakan tas itu masih dalam taraf dapat diperbaiki, maka tas itu akan diperbaiki, free of charge. Tak pelak, kondisi ini membuat Ciciero telah menyebar dari Sabang hingga Merauke. Sementara untuk luar negeri, dikirimkan untuk memenuhi pesanan orang-orang Indonesia yang bermukin di luar negeri atau orang Indonesia yang akan ke luar negeri, sebagai oleh-oleh.

Sementara, untuk merek Ciciero yang ia sematkan pada produknya, ia memiliki jawaban tersendiri. “Untuk nama Ciciero itu sendiri, aku senang saja. Berbeda, misalnya, kalau memberi merek tasku itu Ayu atau Fitri. Pasti, akan muncul komentar: kok lokal amat. Apalagi, secara psikologis, orang Indonesia menyukai hal-hal yang berbau luar negeri. Jadi, dengan memberi nama Ciciero yang berbau Eropa, tapi ternyata buatan lokal akan memberi kejutan tersendiri,” ungkapnya. Ciciero ini sekaligus juga brand dari website-nya yaitu www.akusukatas.com.

Rencana ke depan? “Aku ingin lebih memperkenalkan Ciciero ke seluruh Indonesia, sebagai brand lokal dengan kualitas yang tidak kalah dengan merek internasional. Di samping itu, aku juga ingin mengubah tampilan website dua kali dalam setahun, untuk penyegaran,” pungkasnya. So simple. Tapi, justru dengan kesederhanaan itulah, Dini memperoleh kesuksesan dalam bisnisnya.

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008